Senin, 28 Juni 2010

Manajemen Perikanan Tangkap

Pengantar

Manajemen perikanan merupakan tantangan sekaligus kewajiban mengingat secara alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan dikaruniai potensi sumber daya perikanan yang cukup. Manajemen dimaksud mencakup manajemen komponen biofisik ekosistem dan manajemen kegiatan perikanan.

Perikanan tangkap sebagai sistem yang memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia perlu dikelola yang berorientasi pada jangka panjang (sustainability management). Tindakan manajemen perikanan tangkap adalah mekanisme untuk mengatur, mengendalikan dan mempertahankan kondisi sumber daya ikan pada tingkat tertentu yang diinginkan. Salah satu kunci manajemen ini adalah status dan tren aspek sosial ekonomi dan aspek sumber daya. Data dan informasi status dan tren tersebut baik dikumpulkan secara rutin (statistik) maupun tidak rutin (riset) sekaligus digunakan untuk validasi kebijakan dan menjejak kinerja manajemen.
Manajemen dapat berupa jumlah dan ukuran ikan yang ditangkap serta waktu melakukan penangkapan. Beberapa pendekatan yang dilaksanakan antara lain penutupan daerah atau musim penangkapan, pemberlakuan kuota penangkapan, pembatasan jumlah kapal dan alat perikanan tangkap.

Secara umum opsi tindakan manajemen merupakan aturan-aturan yang bersifat teknis, bersifat pengendalian upaya penangkapan, bersifat pengendalian hasil tangkapan, pengendalian ekosistem dan pendekatan manajemen basis hak. Opsi dan kombinasi opsi dari hal tersebut disesuaikan dengan kondisi perikanan dan kepentingan pemangku kepentingan.

Isu Perikanan Tangkap

Pemanfaatan berlebih pada sumber daya yang terbatas, pengoperasian alat tangkap yang merusak, konflik dan sistem regulasi yang tidak memadai merupakan kontributor dalam menunjang kerusakan sumber daya perikanan.

Manajemen perikanan tangkap saat ini tidak cukup hanya dengan mempertimbangkan spesies target atau populasi yang berkelanjutan, namun pemanfaatan sumber daya hayati yang berkelanjutan dapat dicapai jika dampak ekosistem terhadap sumber daya hayati dan dampak perikanan terhadap ekosistem dapat diidentifikasi secara jelas. Dengan kata lain, hal ini disebut sebagai pendekatan ekosistem terhadap manajemen perikanan tangkap (EAF).

Pengendalian perikanan tangkap masih diabaikan sehingga pada daerah dengan tren hasil tangkapan rata atau menurun dibarengi dengan hasil tangkapan per nelayan dan ukuran ikan yang menurun pula. Hal ini mengarah kepada perikanan tangkap berlebih yang selanjutnya sering terjadi konflik diantara pemanfaatan sumber daya.

Tantangan

Salah satu elemen penting dalam manajemen perikanan tangkap adalah data dan informasi yang benar. Kewajiban pengisian log-book dan statistik belum memberikan gambaran yang sesungguhnya.

Manajemen bersama melalui manajemen regional seperti CSBT, IOTC dan WCPFC diperlukan seiring dengan meningkatnya penangkapan di highsea (kawasan luar ZEE).

Kesadaran konsumen mengenai food safety mendorong adanya persyaratan khusus dan sertifikasi terhadap ikan dan produk ikan. Perkembangan lain adalah kecenderungan negara di kawasan tertentu membentuk blok perdagangan regional. Hal ini perlu disikapi oleh pemangku kepentingan dan difasilitasi Pemerintah.

Globalisasi merupakan permasalahan pembangunan perikanan tangkap sejalan dengan tata ekonomi dan politik dunia. Di sisi lain, otonomi dan demokratisasi merupakan permasalahan dalam negeri yang berfokus pada pengembangan perikanan kewilayahan, pemberdayaan masyarakat serta sumber pertumbuhan perekonomian.

Manajemen Perikanan Tangkap

Pengendalian perikanan tangkap dilakukan dengan aturan yang bersifat teknis, bersifat manajemen upaya penangkapan (input control) dan manajemen hasil tangkapan (output control), dan pengendalian ekosistem.

Pengaturan bersifat teknis mencakup pengaturan alat tangkap dan pembatasan daerah maupun musim perikanan tangkap. Pembatasan alat tangkap lebih pada spesifikasi untuk menangkap ikan spesies tertentu atau meloloskan ikan bukan tujuan tangkap (selektivitas alat tangkap) serta efek terhadap ekosistem. Guna melindungi komponen stok ikan diberlakukan pembatasan daerah dan musim perikanan tangkap sekaligus dibentuk fisheries refugia maupun daerah perlindungan laut (MPA) bagi jenis ikan yang kehidupannya relatif menetap.

Manajemen upaya penangkapan umumnya dilakukan dengan pembatasan jumlah dan ukuran kapal (fishing capacity), jumlah waktu penangkapan (vessel usage) atau upaya penangkapan (fishing effort). Pengendalian ini lebih mudah dan lebih murah dari sisi pemantauan dan penegakan aturan dibandingkan pengendalian hasil tangkapan. Namun penentuan jumlah upaya masing-masing unit penangkapan merupakan hambatan dalam memakai aturan pengendalian ini.

Manajemen hasil tangkapan untuk membatasi jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan bagi suatu area dalam waktu tertentu (total allowable catches) dan selanjutnya menjadi pembatasan jumlah hasil tangkapan setiap unit penangkapan. Hasil tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan jenis spesies tertentu menjadi kendala dalam perikanan multispesies seperti di Indonesia. Pengendalian upaya penangkapan dan hasil tangkapan disebut sebagai direct conservation measures dan dapat dilaksanakan melalui persyaratan perijinan, pengurangan kapasitas penangkapan dan manajemen hasil tangkapan. Pengendalian ekosistem dilaksanakan dengan modifikasi habitat atau pengendalian populasi.

Era baru sektor perikanan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan adalah diadosinya code of conduct for responsible fisheries (CCRF). Perikanan yang berkelanjutan bukan ditujukan semata hanya pada kelestarian perikanan dan ekonomi namun pada keberlanjutan komunitas perikanan yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi. Disini diperlukan pendekatan manajemen yang inovatif dan alternatif untuk mencapai tujuan tersebut.

Terkait dengan perikanan tangkap, setidaknya terdapat 5 hal penting sebagai implementasi CCRF yakni manajemen perikanan, operasi penangkapan, kegiatan perikanan tangkap yang melanggar hukum, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU), pendekatan ekosistem (EAF) dan indikator keberlanjutan. Manajemen perikanan sendiri mempunyai 4 sasaran yang akan dicapai yakni sasaran biologi (kontinuitas produktivitas), ekologi (minimasi dampak terhadap lingkungan), ekonomi (peningkatan pendapatan) dan sosial (peningkatan kesempatan kerja).

Khusus mengenai manajemen perikanan tangkap tergantung pada kemampuan sistem manajemen dalam mengontrol upaya penangkapan secara biologi maupun ekonomi tanpa mengabaikan tanggungjawab terhadap sumber daya, lingkungan, keamanan pangan, awak kapal, kualitas produk serta pengembangan daerah.

Dengan demikian, beberapa hal perlu ditingkatan sesuai dengan kaidah perikanan berkelanjutan sebagai berikut:
• Paradima limited access harus ditingkatkan;
• Implementasi log-book penangkapan harus dibarengi dengan peraturan yang berkaitan dengan kerahasiaan;
• Perbaikan sistem statistik perikanan;
• Meningkatkan kemampuan diplomasi internasional;
• Penyusunan rencana manajemen perikanan diterapkan di setiap upaya manajemen perikanan;
• Partisipasi pemangku kepentingan diperlukan dalam penyusunan rencana manajemen perikanan;
• Meningkatkan efektifitas peradilan perikanan; dan
• Meningkatkan peran sebagai negara pelabuhan (port state) dan negara bendera (flag state).

Penutup

Implementasi manajemen perikanan tangkap harus dibarengi dengan dukungan regulasi, sosialisasi aturan dan aksi manajemen serta MCS. Model manajemen bervariasi menurut wilayah disesuaikan dengan kepentingan pemangku kepentingan mengacu pada tujuan yang disepakati bersama. Tentu saja semua ini perlu kontribusi semua pemangku kepentingan dalam kerangka legal yang jelas.

Sumber : http://www.stp.dkp.go.id/index.php

Juknis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan

Juknis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan
Banyak teknologi yang digunakan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan termasuk di dalamnya lingkungan perairan. Lingkungan perairan ini menjadi korban dari ulah kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti pembuangan limbah rumah tangga maupun industri yang menyebabkan pencemaran. Kegiatan dibidang perikanan seperti penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, racun dan alat-alat tangkap yang membahayakan kelestarian sumberdaya ikan juga merupakan salah satu faktor yang merusak lingkungan perairan. Sumberdaya ikan, meskipun termasuk sumberdaya yang dapat pulih kembali (renewable resources) namun bukanlah tidak terbatas. Oleh karena itu perlu dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan agar kontribusinya terhadap ketersediaan nutrisi, peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan.
Pengelolaan sumberdaya ikan sangat erat kaitannya dengan pengelolaan operasi penangkapan ikan dan sasaran penangkapan ikan yang dilakukan. Usaha-usaha untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari ancaman kepunahan, sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh berbagai ahli penangkapan ikan di seluruh dunia. Sebagai contoh, industri penangkapan ikan di Laut Utara telah melakukan berbagai usaha untuk mengurangi buangan hasil tangkap sampingan (by catch) lebih dari seratus tahun yang lalu.
Selain hal tersebut di atas, untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan perlu juga dilihat dari penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan yaitu dari segi pengoperasian alat penangkapan ikan, daerah penangkapan dan lain sebagainya sesuai dengan tata laksana untuk perikanan yang bertanggungjawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Kedepan, trend pengembangan teknologi penangkapan ikan ditekankan pada teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (enviromental friendly fishing tecnology) dengan harapan dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampat negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut merusak dasar perairan, kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi. Faktor lain adalah dampak terhadap bio-diversity dan target resources yaitu komposisi hasil tangkapan, adanya by catch serta tertangkapnya ikan-ikan muda.
Penyusunan Petunjuk Teknis (Juknis) Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dimaksudkan sebagai acuan dalam penggunaan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari segi metode pengoperasian, bahan dan kontruksi alat, daerah penangkapan dan ketersediaan sumberdaya ikan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan. Sedangkan sasaran dari pembuatan Petunjuk Teknis ini adalah nelayan perikanan dan semua pihak yang bergerak di bidang perikanan yang tersebar di seluruh perairan Indonesia agar mentaati/mematuhi peraturan yang berlaku dan dalam mengoperasikan alat tangkap dengan tetap menjaga lingkungan dan kelestarian sumberdaya Ikan.
Buku petunjuk teknis penangkapan ikan ramah lingkungan ini berisikan tentang alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan yang sesuai dengan kriterianya yaitu : 1) Memiliki selektifitas tinggi; 2) Hasil tangkapan sampingan rendah (by catch); 3) Hasil tangkapan berkualitas tinggi; 4) Tidak destruktif/merusak habitat/lingkungan; 5) Mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity); 6) Tidak menangkap spesies yang dilindungi/terancam punah; 7) Pengoperasian alat tangkap tidak membahayakan nelayan; dan 8) Tidak melakukan penangkapan di daerah terlarang.

Dikutip dari : http://ikanmania.wordpress.com/2008/01/01/juknis-penangkapan-ikan-ramah-lingkungan/
(sumber : Keg. Direk. Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Th. 2005)

Senin, 21 Desember 2009

Tugas PO

Efek Rumah Kaca / Green House Effect
Disarikan dari http://lasonearth.wordpress.com/makalah/efek-rumah-kaca-green-house-effect/

PENDAHULUAN
Keadaan suhu di bumi sekarang ini semakin hari semakin panas kita rasakan. Suhu pun tidak stabil. Cuaca yang tidak menentu membuat kehidupan di muka bumi ini terancam. Pembangunan gedung-gedung besar dan tinggi serta pembabatan hutan secara liar merupakan salah satu penyebab makin panasnya suhu bumi – karena tidak seimbangnya kadar karbon dioksida di udara dengan polusi yang ditimbulkan oleh msin-mesin industri, asap kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Sejak revolusi industri tahun 1750, industrialisasi di dunia – khususnya di Eropa terus meningkat. Ini menyebabkan kadar gas yang berbahaya semakin tajam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat orang lupa akan kelestarian lingkungannya, namun seiring dengan itu usaha-usaha perbaikan lingkungan pun juga gencar dilaksanakan.

PEMBAHASAN

A. Pengenalan Efek Rumah Kaca
Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan sebuah proses di mana atmosfer memanaskan sebuah planet. Mars, Venus, dan benda langit beratmosfer lainnya (seperti satelit alami Saturnus, Titan) memiliki efek rumah kaca.
Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia (lihat juga pemanasan global). Yang belakangan ini diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat.
Ketika radiasi matahari tampak maupun tidak tampak dipancarkan ke bumi, 10 energi radiasi matahari itu diserap oleh berbagai gas yang ada di atmosfer, 34% dipantulkan oleh awan dan permukaan bumi, 42% membuat bumi menjadi panas, 23% menguapkan air, dan hanya 0,023% dimanfaatkan tanaman untuk perfotosintesis.
Malam hari permukaan bumi memantulkan energi dari matahari yang tidak diubah menjadi bentuk energi lain seperti diubah menjadi karbohidrat oleh tanaman dalam bentuk radiasi inframerah. Tetapi tidak semua radiasi panas inframerah dari permukaan bumi tertahan oleh gas-gas yang ada di atmosfer. Gas-gas yang ada di atmosfer menyerap energi panas pantulan dari bumi.
Dalam skala yang lebih kecil – hal yang sama juga terjadi di dalam rumah kaca. Radiasi sinar matahari menembus kaca, lalu masuk ke dalam rumah kaca. Pantulan dari benda dan permukaan di dalam rumah kaca adalah berupa sinar inframerah dan tertahan atap kaca yang mengakibatkan udara di dalam rumah kaca menjadi hangat walaupun udara di luar dingin. Efek memanaskan itulah yang disebut efek rumah kaca atau ”green house effect”. Gas-gas yang berfungsi bagaikan pada rumah kaca disebut gas rumah kaca atau ”green house gases”.

B. Pengaruh Rumah Kaca
Pengaruh rumah kaca terbentuk dari interaksi antara atmosfer yang jumlahnya meningkat dengan radiasi solar. Meskipun sinar matahari terdiri atas bermacam-macam panjang gelombang, kebanyakan radiasi yang mencapai permukaan bumi terletak pada kisaran sinar tampak. Hal ini disebabkan ozon yang terdapat secara normal di atmosfer bagian atas, menyaring sebagian besar sinar ultraviolet. Uap air atmosfer dan gas metana dari pembusukan – mengabsorpsikan sebagian besar inframerah yang dapat dirasakan pada kulit kita sebagai panas. Kira-kira sepertiga dari sinar yang mencapai permukaan bumi akan direfleksikan kembali ke atmosfer.
Sebagian besar sisanya akan diabsorpsikan oleh benda-benda lainnya. Sinar yang diabsorpsikan tersebut akan diradiasikan kembali dalam bentuk radiasi inframerah dengan gelombang panjang atau panas jika bumi menjadi dingin. Sinar dengan panjang gelombang lebih tinggi tersebut akan diabsorpsikan oleh karbon dioksida atmosfer dan membebaskan panas sehingga suhu atmosfer akan meningkat. Karbon dioksida berfungsi sebagai filter satu arah, tetapi menghambat sinar dengan panjang gelombang lebih untuk melaluinya dari arah yang berlawanan. Aktivitas filter dari karbon dioksida mengakibatkan suhu atmosfer dan bumi akan meningkat. Keadaan inilah yang disebut pengaruh rumah kaca.
Pengaruh karbon dioksida yang dihasilkan dari pencemaran udara berbentuk gas yang salah satunya adalah dari rumah kaca. Karbon dioksida mempunyai sifat menyerap sinar (panas) matahari yaitu sinar inframerah – sehingga temperatur udara menjadi lebih tinggi karenanya. Apabila kadar yang lebih ini merata di seluruh permukaan bumi, temperatur udara rata-rata di seluruh permukaan bumi akan sedikit naik, dan ini dapat mengakibatkan meleburnya es dan salju di kutub dan di puncak-puncak pegunungan, sehingga permukaan air laut naik.

C. Mekanisme Terjadinya
Proses terjadinya efek rumah kaca ini berkaitan dengan daur aliran panas matahari. Kurang lebih 30% radiasi matahari yang mencapai tanah dipantulkan kembali ke angkasa dan diserap oleh uap, gas karbon dioksida, nitrogen, oksigen, dan gas-gas lain di atmosfer. Sisanya yang 70% diserap oleh tanah, laut, dan awan. Pada malam hari tanah dan badan air itu relatif lebih hangat daripada udara di atasnya. Energi yang terserap diradiasikan kembali ke atmosfer sebagai radiasi inframerah, gelombang panjang atau radiasi energi panas. Sebagian besar radiasi inframerah ini akan tertahan oleh karbon dioksida dan uap air di atmosfer. Hanya sebagian kecil akan lepas ke angkasa luar. Akibat keseluruhannya adalah bahwa permukaan bumi dihangatkan oleh adanya molekul uap air, karbon dioksida, dan semacamnya. Efek penghangatan ini dikenal sebagai efek rumah kaca.
Sedangkan proses secara singkatnya yaitu ketika sinar radiasi matahari menembus kaca sebagai gelombang pendek sehingga panasnya diserapa oleh bumi dan tanaman yang ada di dalam rumah kaca tersebut. Untuk selanjutnya, panas tersebut di radiasikan kembali namun dengan panjang gelombang yang panjang(panjang geklombang berbanding dengan energi) sehingga sinar radiasi tersebut tidak dapat menembus kaca. Akibatnya, suhu di dalam rumah kaca lebih tinggi dibandingkan dengan suhu yang di luar rumah kaca.

D. Dampak Rumah Kaca
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara Kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Menurut perkiraan, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi rata-rata 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorpsinya. Energi yang masuk ke bumi mengalami: 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diabsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi.
Energi yang diabsorpsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.

E. Usaha Mengurangi Efek Rumah Kaca
Banyak hal gampang yang bisa kita lakukan untuk mengurangi efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Caranya, kita bisa mematikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan. Selain hemat energi dan uang untuk bayar listrik, juga mengurangi polusi karena penggunaan bahan bakar. Rajin-rajin memanggil tukang servis AC. Carpooling atau berangkat bareng teman atau keluarga ke sekolah, tempat les, atau mal. Selain mengurangi kemacetan, kita juga menghemat energi. Saat mencetak tugas, usahakan memakai dua sisi kertas. Plastik adalah bahan yang sulit untuk diuraikan. Kalau dibakar, plastik akan menjadi zat racun atau polusi. Pemakaian kantong plastik saat belanja harus dikurangi. Seluruh plastik itu hanya menjadi sampah. Coba deh pakai tas karton atau tas kanvas.


PENUTUP

Kesimpulan
1. Efek rumah kaca menyebabkan kenaikan suhu bumi – sehingga mempengaruhi iklim secara global.
2. Namun demikian, efek rumah kaca juga berdampak positif, seperti tetap berlangsungnya kegiatan pertanian pada musim dingin oleh orang-orang Eropa.
3. Efek rumah kaca menimbulkan dampak-dampak negatif lainnya yang menyebabkan kerugian pada manusia dan makhluk hidup lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembicaraan:Efek
http://nagasundani.blogsome.com/2005/05/09/efek-rumah-kaca-buruk-jika/trackback/

Jumat, 04 Desember 2009

Rumpon dari Ban Bekas, Berbahayakah?



Selama ini kita mengenal salah satu alat bantu penangkapan ikan yang oleh masyarakat nelayan dikenal sebagai alat pemikat ikan, yaitu rumpon. Alat ini tersusun dari beberapa komponen, antara lain rakit, atraktor, tali rumpon, dan jangkar. Dengan makin majunya teknologi, rumpon telah menjadi salah satu alternatif untuk menciptakan daerah penangkapan buatan dan manfaat keberadaannya cukup besar. Sebelum mengenal rumpon, nelayan menangkap ikan dengan cara mengejar atau menangkap kelompok ikan di laut. Kini, dengan makin berkembangnya rumpon maka pada saat musim penangkapan, lokasi penangkapan menjadi pasti di suatu tempat. Dengan tertentunya tujuan daerah penangkapan maka nelayan dapat menghemat bahan bakar, karena mereka tidak lagi mencari dan menangkap kelompok renang ikan dengan menyisir laut yang luas.

Nelayan di beberapa daerah telah banyak yang menerapkan teknologi rumpon ini. Di Utara Pulau Jawa telah lama mengenal rumpon untuk memikat ikan agar berkumpul di sekitar rumpon, sehingga memudahkan penangkapan. Berbagai alat tangkap digunakan di sekitar rumpon, antara lain alat tangkap lampara, pukat cincin, dan payang. Sedangkan di Propinsi Maluku Utara dan Sulawesi Utara, para nelayan telah mulai mengenal rumpon, digunakan untuk memikat ikan permukaan (pelagic fish), antara lain: ikan selar, ikan layang, ikan kembung. tuna, dan cakalang agar berkumpul sehingga memudahkan nelayan yang menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tangan.

Pemerintah sendiri telah menerbitkan aturan tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon tahun 2004. Berdasarkan kajian, penggunaan rumpon dapat menghemat penggunaan BBM dan waktu tangkap bagi nelayan, serta meningkatkan hasil tangkapan hingga tiga kali lipat. Berdasarkan data dari Ditjen Perikanan Tangkap, kebutuhan rumpon buatan di seluruh Indonesia mencapai 3 juta unit, sementara realisasi baru sekitar 500 unit. Sebanyak ”17 persen produksi ikan di Indonesia dari pantura dengan 1,7 juta nelayan yang bekerja di sektor perikanan. Namun, akhir-akhir ini kondisi nelayan semakin berat,” tandas Ali Supardan, Dirjen Perikanan Tangkap.

Ban Bekas, berbahaya?

Sejak tahun 2003, berkembang bahan baku pembuatan atraktor rumpon yang memanfaatkan limbah ban bekas untuk mengurangi limbah di darat. Beberapa pemerintah daerah juga telah menerapkan kebijakan pembuatan rumpon dari ban bekas di kawasan perairan mereka yang terumbu karangnya rusak dengan tujuan selain menjadi rumah ikan juga diharapkan menjadi tempat tumbuh organisme karang yang kemudian berkembang menjadi kawasan terumbu karang baru.

Tire Reef. Photo credit: Matthew Hoelscher


Namun seberapa efektif ban bekas efektif menjadi rumah ikan dan menjadi media tumbuh karang?

Kepala Pusat Data dan Informasi D

epartemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Soen’an Hadi Poernomo mengemukakan bahwa ban bekas mengandung senyawa dioksin, yaitu ”2,3,7,8-toxic strong TCDD” yang membahayakan kesehatan makhluk hidup.


Studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) itu menyebutkan, senyawa itu mengandung racun yang berbahaya dan memicu penyebab kanker. Amerika Serikat, lanjtnya, telah menghentikan penggunaan rumpon ban bekas sejak 2005 dan menyiapkan US$ 34 juta untuk mengambil rumpon ban bekas di laut

Menurut Jamaluddin Jompa, Sekretaris Eksekutif COREMAP II yang juga pakar terumbu karang, isu ban bekas sebagai rumpon sendiri marak didiskusikan di coral-list (mailing list international berbasis di USA) di era awal thn 90-an, dan banyak negara yang dikritisi (termasuk Indonesia) karena mengintroduksi bahan ban bekas yang sesungguhnya terbuat dari bahan sintesis bahan bakar minyak. Oleh karena disamping tidak ramah lingkungan juga dapat mengurangi nilai estetika, khususnya jika berada di laut dangkal atau di sekitar terumbu karang. Di era tahun 70-an Australia pun pernah introduksi bahan ban bekas untuk FAD, tapi sejak lama tidak direkomendasikan lagi, jangan sampai, karena "lack of information" kita justru mengulang hal-hal yang telah lama ditinggalkan negara lain, "lanjutnya.

Lebih lanjut, Jamaluddin Jompa mengatakan pernah melakukan survei terhadap 2 artificial reef dari ban bekas di Kep Spermonde, setelah hampir 10 tahun lamanya berada pada kedalaman 10 meter, bentuknya tidak menarik dan sangat kurang karang scleractinian yang recruit pada ban bekas tersebut , justru yang banyak menempel hanya sejenis tunicata dan turf alga yang tidak membentuk reef. Sebagai perbandingan, dengan bahan lain seperti semen, recruitmen biasanya sudah mulai banyak kelihatan hanya dalam kurun waktu 1 tahun.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri telah meminta Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan penggunaan rumpon (rumah ikan di laut) dari ban bekas yang ditebar sejak 2003. Permintaan itu disampaikan dalam Temu Wicara Presiden dengan Petani di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan Cirebon, Rabu (17/9) siang.

Pro Kontra

Beberapa pihak menyikapi hal tersebut dengan mengemukakan sebaiknya pemerintah tidak tergesa-gesa mengambil keputusan tersebut. Kepala Bidang Penyebaran Teknologi Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang Nur Bambang mengemukakan, indikasi bahaya rumpon ban bekas masih harus dibuktikan dan diuji melalui riset pemerintah. Menurut Nur, penggunaan ban bekas selama ini sudah menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat, di antaranya dipakai pada sumur-sumur air masyarakat untuk mengerek ember air. (Kompas Online)

Sementara, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan Ali Supardan mengemukakan, pihaknya segera menerbitkan surat edaran tentang larangan penggunaan ban bekas sebagai bahan baku rumpon. Sebagai pengganti rumpon ban bekas, pihaknya sedang mengkaji penggunaan rumpon berbahan baku semen atau plastik. (Kompas Online)

Terhadap kasus sejatinya memang akan menimbulkan beberapa pertanyaan-pertanyaan. Misalnya apakah benar bahwa ban bekas mengeluarkan senyawa kimia berbahaya? jenis senyawa apakah itu dan berapa mulai dikeluarkan setelah terpapar di media laut? bagaimana dengan ikan yang terpapar senyawa tersebut dan dampak terhadap manusia yang mengkonsumsi ikan? Apakah juga berlaku untuk rumpon permukaan atau hanya untuk rumpon dasar (artificial reef as FAD) ? Dampak potensial pelarangan tersebut terhadap sosial ekonomi perikanan Indonesia? terhadap ekspor? Apakah akan dimasukkan dalam daftar IUU Fishing?

Dalam waktu dekat (setelah Idul Fitri 1429 H), Mitra Bahari akan menggelar diskusi untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul seputar isu ini. Kegiatan ini akan menghadirkan pakar-pakar di bidang kelautan dan perikanan khususnya teknologi penangkapan ikan. Hasil diskusi ini akan tertuang menjadi bahan rekomendasi kebijakan yang merupakan salah satu pilar kegiatan utama program Mitra Bahari. [ns]

* Disarikan dari beberapa sumber media online dan mailing list mitra bahari (Jumat, 26 September 2008 07:00)